A Word From A Statesman

"WAR STAMP NOBLELITY FOR EVERYONE WHO MEET IT'S COURAGE" - Benito Mussolini -

Kamis, Desember 27, 2007

THE BATTLE OF KURSK


Pertempuran hebat antara pasukan Nazi Jerman dan Tentara Merah Uni Soviet di wilayah KUrsk, atau lebih dikenal sebagai Battle of Kursk, merupakan perang habis2an di front Eropa Timur semasa PD II. Jerman berambisi menguasai Kursk, sebagai batu loncatan untuk menyerbu Moskow. Guna memberikan pukulan mematikan lewat taktik serbuan kilat Blitzkrieg, Hitler mengerahkan pasukannya dalam jumlah besar. Kekuatan pasukan yang dikerahkan dan diperintah langsung oleh Hitler itu sampai mengakibatkan daya gempur pasukan Jerman yang berada di Eropa Barat terganggu. Akibatnya ketika pasukan sekutu mendarat di Normandia, pertahanan Jerman di Perancis mendapat kesulitan besar.

Pasukan Jerman yang dikerahkan untuk menggempur Kursk mencakup 800,000 pasukan infanteri, 2,700 tank lapis baja, 2,000 pesawat tempur dan dipimpin olehj dua jendral kawakan, Erich Von Mansteim dan Walther Models. Sedangkan kekuatan Soviet terdiri dari 1,300,000 infanteri, 3,600 tank dan 2,400 pesawat tempur.

Dari segi jumlah armada tempur dan personel, Tentara Merah memang jauh lebih besar, tetapi Jerman tidak merasa gentar. Hitler dan para jendralnya sebenarnya juga sudah paham jika kekuatan Soviet jauh lebih besar sejak mereka melancarkan operasi Barbarossa. Namun, berdasar operasi kilat yang selalu sukses, terutama yang dipelopori divisi panzer dan pesawat tempur, membuat Hitler tidak menggubris kekuatan lawan yang jauh lebih besar itu.


Seperti sukses tempur yang telah berkali2 diraihnya, mengandalkan kendaraan beroda rantai lapis baja, taktik Jerman menggebuk Kursk juga mengandalkan pada serbuan kilat dengan mengerahkan ribuan tank. Strategi blitzkrieg dipercayakan kepada von Manstein yang sudah sangat terkenal kepiawaian taktik tempurnya. Mansteim lalu menyarankan kepada Hitler agar Soviet diserbu dari arah selatan saja sehingga pasukan Jerman dari tentara Keenam (6 Armee) bisa menguasai Ukraina dan sekaligus menyusun basis di sana. Manstein berpendapat dari daerah yang kaya gandum dan minyak ini, pasukan Jerman selanjutnya menyerbu Rostov serta memojokkan Tentara Merah menuju ke arah Laut Azov.

Tapi taktik tempur yang dipusatkan pada serbuan frontal lalu mengurung dan menjebak itu ternyata tidak disetujui Hitler. Sang Fuhrer lebih suka melancarkan taktik serbuan pararel seperti yang pernah dilakukannya saat merebut Perancis. Hitler yang ingin cepat menang kemudian memberi peritnyah agar Manstein dan Models langsung menyerbu 2 kota sekaligus, Orel dan Kharkov, selanjutnya 2 pasukan bertemu untuk konsolidasi. Setelah itu terus menyerbu Kursk, Rostov, dan kemudian Moskow. Rencana Hitler makin mengkristal mengingat pasukan Jerman yang bertempur di kawasan Stalingrad belum mengalami kemajuan berarti. Selain itu, didorong ambisi ingin segera menaklukkan Soviet secepat kilat, serbuan ke Kursk yang dinamai Operation Citadel pun digelar.

Tepatnya Maret 1943, operation citadel mulai digelar jendral Walther Models yang memimpin Tentara Kesembilan menyerang dari arah selatan, Orel. Sementara Jendral Manstein yang memimpin 4 Panzer Armee dan Armee Abteilung Kempf menggempur dari arah Utara, Kharkov. Gempuran besar-besaran dari 2 arah itu akan bertemu di dekat kota Kursk. Begitu kedua kekuatan sudah terkonsolidasi, Kursk akan digempur habis2an.


Di luar dugaan, persiapan serbuan itu molor karena pasuka Nazi masih menunggu pengiriman senjata dan logistik dari Jerman. Terutama tank andalan mereka yang baru saja diproduksi, panther. Pada bulan Juli senjata yang ditunggu2 baru tiba sehingga esensi serangan blitzkrieg menjadi pudar akibat mundurnya waktu. Yang paling fatal, Hitler dan para jendralnya ternyata tidak begitu memahami medan laga seputar kawasan Kursk serta datangnya musim dingin.

Stalin sebenarnya sudah mencium adanya rencana serangan Jerman ke Kursk. Kecurigaan Stalin menjadi makin nyata ketika sejumlah mata2 dan intelijen yang disebar Soviet berhasil mengetahuii rencana serbuan ke Kursk. Terutama mata2 Soviet yang berada di Swiss berhasil mengetahui rencana serangan itu begitu detail sehingga Stalin tahu pertahanan seperti apa yang harus dipersiapkan.

Stalin langsung memerintahkan tentaranya untuk membangun pertahanan kuat di kawasan Kursk. Pertahanan yang dibangun antara lain penggalian parit sepanjang 5,000 km, penanaman ranjau darat sebanyak 400,000 buah, memasang 20,000 meriam artileri, menyiagakan ribuan tank dan pesawat tempur serta menggelar ratusan ribu prajurit. Pembangunan sarana pertahanan itu juga mendapat waktu yang cukup akibat mundurnya rencana operation citadel.

Tepat pada tanggal 4 juli 1943, operation citadel dilaksanakan. sebagai serangan pembuka, Jerman mengirim ratusan pesawat pembom tukik JU-87 Stuka untuk menggempur front terdepan. setelah melaksanakan pemboman selama 10 menit, gempuran merian artileri datang menyusul. Tak lama kemudian, armada lapis baja III Panzerkorps bergerak menyerbu dengan formasi mengepung kawasan Zavidovka. Sementara pada saat yang sama Panzergrenadier Division, 11 Panzer Division serta 3 Panzer Division bergerak menyerang kawasan Butovo dari berbagai arah.

Serbuan pasukan dan panzer Jerman itu ternyata mampu dihambat oleh pertahanan yg sudah dibangun Soviet. Kendati sempat dibuat kalang kabut oleh pembom stuka, serbuan balik artileri Soviet membuat pergerakan pasukan Jerman terseok. Apalagi kondisi medan perang yang berbukit2 turut membantu posisi pasukan Merah. Esok harinya, secara mengejutkan serangan balasan yang dilakukan pesawat tempur soviet berhasil membombardir sejumlah pangkalan Luftwaffe Jerman dan menimbulkan korban tidak sedikit.

Di medan perang Utara pergerakan pasukan Jerma 9 Armee bahkan mengalami hambatan yg jauh lebih berat. Ratusan ribu ranjau yang telah ditanam Tentara Merah berhasil menciptakan kesulitan besar bagi pasukan Jendral Models. Kemajuan yg diperoleh terlalu sedikit, perlu ahli dan teknisi ranjau serta kendaraan antiranjau untuk mengatasi rintangan itu. Sialnya, jendral Models tidak memiliki teknisi dan armada yg cukup. Apalagi, jumlah tank yang dimiliki Models lebih sedikit dibanding armada tank yang dikerahkan untuk menggempur kawasan selatan Kursk. Selain itu, moril dan mental pasukan Models juga tidak setangguh pasukan Manstein. Akibatnya daya gempur pasukan Models cepat melemah.

Setelah bertempur selama satu minggu, pasukan jerman hanya mampu bergerak maju sejauh 10km. Tapi, serangan balik Tentara Merah yang dilancarkan dari kawasan Orel justru berhasil memukul mundur pasukan Nazi, bahkan mengakibatkan 9 armee ditarik mundur. Pertempuran antara pasukan Soviet dan Jerman diwarnai duel tank dari jarak dekat, sehingga kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak sama besarnya. jerman sendiri kehilangan 300 panzer III dan IV, setengah lusin tank Tiger dan 50 tank lainnya rusak parah. Namun, bedanya kendati jumlah total kerugian yg dialami soviet lebih besar, dengan cepat Tentara Merah sanggup mengganti armada tanknya, sedangkan Jerman tidak.

Soal keunggulan tempur, tank Rusia seperti T-34 terkadang lebih unggul daripada tank2 Jerman. keunggulannya terletak pada kecepatan, lapisan baja dan desain bodi tank. Berkat tank produksi terbaru itulah kekuatan Soviet menjadi superior dan menimbulkan ketakutan tentara Jerman setiap kali armada T-34 muncul. Jerman pun akhirnya berhasil dipukul mundur atau dengan kata lain mengkhianati doktrin tempur Jerman yang pantang mundur. Manstein dan Models memilih mundur mengingat mereka masih dibutuhkan untuk mempertahankan tanah Jerman sendiri.

Kendati pasukan Jerman berhasil dipukul mundur dari Kursk, kekuatan keduanya sebenarnya masih sebanding. Tapi mengingat Jerman tidak memiliki lagi tentara baru yang segar sedangkan tentara Soviet dan persenjataannya justru makin melimpah, inisiatif pertempuran langsung berpindah tangan ke Soviet. Akibat serbuan yg gagal itu, kekuatan Jerman terus merosot. Selama berlaga untuk menguasai Kursk, setiap divisi yang dikerahkan Jerman kehilangan antara 2,000-3,500 tentara terlatih. Sedangkan jumlah total tank dan panzer yang hancur mencapai 500.

Jumlah korban dari kedua belah pihak memang cukup besar. Secara rinci Jerman kehilangan 200,510 prajurit tewas dan luka, 500 tank dan 200 pesawat tempur. sedangkan Soviet kehilangan 860,370 prajurit tewas dan luka, 1,500 tank serta 1,000 pesawat. Tentara soviet yang sudah pulih organisasi dan garis komandonya, tanpa membuang waktu segera melancarkan invasi balasan untuk secepatnya menggusur sisa kekuatan Jerman.

Pada pertengahan Agustus, Tentara Merah bahkan berhasil mengkonsolidasikan kekuatan total pasukannya dan tinggal memberikan pukulan pamungkas terhadap tentara Jerman. Satu persatu kota soviet yang semula dikuasa Jerman seperti Belgorod, Orel, dan Kharkov berhasil dibebaskan. Akhirnya pada 22 Agustus seluruh kekuatan Jerman berhasil diusir dari kawasan Rusia. Pasukan Jerman bahkan terus diburu hingga ke tanah Jerman sendiri.

Dari Majalah Angkasa

Read More..

KRI Irian adalah Kapal penjelajah kelas Sverdlov dengan kode penamaan soviet Project 68-bis. Kapal jenis ini adalah Kapal Penjelajah konvensional terakhir yang dibuat untuk AL Soviet, 13 kapal diselesaikan sebelum Nikita Khrushchev menghentikan program ini karena kapal jenis ini dianggap kuno dengan munculnya rudal (peluru kendali). Kapal ini adalah versi pengembangan dari Penjelajah Kelas Chapayev.

KRI Irian

KRI Irian
Tipe: Penjelajah
Mulai aktif: 1952
Complement: 1250
Bobot: 13,600 ton standar&nbsp 16,640 ton beban penuh
Panjang: 210 m keseluruhan, 205 m garis air
Lebar: 22 m
Draught: 6.9 m
Mesin: 2 shaft geared steam turbine, 6 boiler, 110,000 hp
Kecepatan: 32.5 knot
Senjata:
  • 12 x 15.2 cm 57 cal B-38, 4 triple Mk5-bis turrets
  • 12 x 10.0 cm 56 cal Model 1934 6 twin SM-5-1 mounts
  • 32 x 3.7 cm
  • 10 x 533 cm tabung torpedo
Armour:
  • Belt = 100 mm
  • Conning tower = 150 mm
  • Dek = 50 mm
  • Turet = 75 mm

Riwayat KRI Irian

KRI Irian sebelumnya adalah kapal Ordzhonikidze (Орджоникидзе) (Object 055) dari armada Baltik yang dibeli oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1962. Saat itu KRI Irian adalah kapal terbesar dibelahan bumi selatan. Kapal ini digunakan secara aktif untuk persiapan merebut Irian Barat.

Persiapan

Pada 11 Januari 1961 Pemerintah Soviet mulai mengeluarkan instruksi kepada Central Design Bureau #17 untuk memodifikasi Ordzhonikidze supaya ideal beroperasi di daerah tropis. Modernisasi skala besar dilakukan untuk membuat kapal ini bisa beroperasi pada suhu +40°C, kelembapan 95%, dan temperatur air +30°C.

Tetapi perwakilan dari Angkatan Laut Indonesia yang kemudian mengunjungi kota Baltiisk menyatakan bahwa mereka tidak sanggup untuk menanggung biaya proyek sebesar itu. Akhirnya modernisasi dialihkan untuk instalasi genset diesel yang lebih kuat guna menggerakkan ventilator tambahan.

Pada 14 Februari 1961 Kapal ini tiba di Sevastopol dan pada 5 April 1962 kapal ini memulai ujicoba lautnya. Pada saat itu Kru Indonesia untuk kapal ini sudah terbentuk dan ada di atas kapal. Mekanik kapal ini Bapak Yathizan, di kemudian hari menjadi Kepala Departemen Teknik ALRI. Begitu juga banyak dari pelaut yang lain, di kemudian hari banyak yang mampu menduduki posisi penting.

Operasional

Datang ke Surabaya pada 5 Agustus 1962 dan dinyatakan keluar dari kedinasan AL Soviet pada 24 Januari 1963. Tidak pernah Uni Soviet menjual kapal dengan bobot seberat ini kepada negara lain kecuali kepada Indonesia. ALRI yang belum pernah mempunyai armada sendiri sebelumnya, belajar untuk mengoperasikan kapal-kapal canggih dan mahal ini dengan cara trial and error / coba-coba. Pada November 1962 tercatat sebuah mesin diesel kapal selam rusak karena benturan hirolis saat naik ke permukaan, sebuah destroyer rusak dan 3 dari 6 boiler KRI Irian rusak. Suhu yang panas dan kelembapan tinggi berefek negatif terhadap armada ALRI, akibatnya banyak peralatan yang tidak bisa dioperasikan secara optimal. Di lain pihak kehadiran kapal ini membuat AL Belanda secara drastis mengurangi kehadirannya di perairan Irian Barat.

Perbaikan

Pada 1964 Kapal Penjelajah ini sudah benar-benar kehilangan efisiensi operasionalnya dan diputuskan untuk mengirim KRI Irian ke Vladivostok untuk perbaikan. Pada Maret 1964 KRI Irian sampai di Pabrik Dalzavod. Para pelaut dan teknisi Soviet terkejut melihat kondisi kapal dan banyaknya perbaikan kecil yang seharusnya sudah dilakukan oleh para awak kapal ternyata tidak dilakukan. Mereka juga tertarik dengan sedikit modifikasi yang dilakukan ALRI yaitu mengubah ruang pakaian menjadi ruang ibadah (sesuatu yang tidak mungkin terjadi di negara komunis).

Pemensiunan

Setelah perbaikan selesai pada Agustus 1964 kapal menuju Surabaya dengan dikawal Destroyer AL Soviet. Setahun kemudian (1965) terjadi pergantian pemerintahan. Kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto. Perhatian Soeharto terhadap ALRI sangat berbeda dibandingkan Sukarno. Kapal ini dibiarkan terbengkelai di Surabaya, bahkan terkadang digunakan sebagai penjara bagi lawan politik Soeharto [1].

Pada 1970 kapal yang terbengkelai ini mulai terisi air. Tidak ada orang yang peduli untuk menyelamatkan Kapal Penjelajah ini. Tercatat KRI Irian dibesituakan di Taiwan pada tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang kronis.[2]

Read More..

TU-16 Badger

TU 16, Bomber Indonesia Yang Menggetarkan Dunia


Suwandi Sudjono
Dengan Tu-16 Fly Over Kualalumpur


1961, dia menjemput dua pesawat Tu-16 Badger ke Rusia. Sembilan tahun kemudian, 1970, dia pula yang menerbangkan pembom raksasa itu untuk terakhir kali dan langsung meng-grounded.


M-1625 TERAKHIR - M-1625 adalah Tu-16 terakhir yang diterbangkan./Foto: Dok. Suwandi

Seperti sudah menjadi pengetahuan bersama, Indonesia pernah mengoperasikan pembom strategis, Tupolev Tu-16 Badger. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 24 pesawat. 12 versi pembom (Badger A), 12 pesawat lagi versi pembopong rudal anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Versi pembom dioperasikan Skadron 41, sementara Tu-16 KS di Skadron 42. Keduanya beroperasi dibawah kendali Wing 003.

Marsma (Pur) Suwandi Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang mencicipi Tu-16 sekaligus menerbangkannya untuk terakhir kali (farewell flight) pada bulan Oktober 1970, menuturkan pengalaman yang dilaluinya 39 tahun lalu. Disela keterbatasan daya ingat yang mulai menurun, penerbang lulusan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) X 1960 ini, menerima Angkasa di kediamannya di Komplek Perumahan TNI AU, Jatiwaringin.

Diselimuti rahasia

Usai merampungkan pendidikan penerbang di SPL Yogjakarta, Letda Udara Suwandi beserta tiga rekannya Sumarno, J Wattimena, dan DEF Dumatubun, langsung ditempatkan di Skadron 1/Pembom, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Malang tak bisa dihindari, Wattimena dan Dumatubun gugur dalam latihan terbang malam menggunakan pesawat B-25 Mitchell tanggal 25 Mei 1960. Pesawatnya jatuh di daerah Pondok Gede (sekarang stasiun pengisian bahan bakar umum-Red), enam hari sebelum Presiden Soekarno menyematkan wing penerbang di dadanya sebagai penerbang TNI AU.

Belum sampai setahun bercokol sebagai bomber, Februari 1961 datang panggilan yang tidak pernah diduga-duga Suwandi. Dia dan Sumarno (marsma purnawirawan, wafat 5 April 1991), ditugaskan menjemput pesawat yang paling menakutkan saat itu. Hanya Amerika dengan pembom B-58 Hustler-nya serta Inggris dengan pembom uniknya V bomber, yang mampu mengimbangi Uni Soviet. Lucunya, Suwandi dan tentu juga Sumarno, mengaku tidak tahu-menahu seperti apa sosok Tu-16 serta seberapa besar daya deterent-nya (bagi Barat). "Saya masih muda, tidak tahu menahu. Saya hanya merasa senang karena ke luar negeri. Pokoknya, tahunya berangkat dan membawa pulang Tu-16 dengan selamat," tutur Suwandi, pria kelahiran Banyumas, 4 April 1936.

"Padahal saya masih ko-pilot," katanya lagi. Memang, ketika diberangkatkan, Suwandi dan Sumarno masih berstatus ko-pilot (B-25). Tapi begitulah keadaan TNI AU pada tahun-tahun 50-an dan 60-an. Terutama setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950 yang meninggalkan puluhan pesawat bagi TNI AU, kebutuhan kapten pilot menjadi sangat mendesak. Comot sana-sini, peralihan tugas hampir tidak terduga. Kalau hari ini terbang B-25, bisa saja besoknya pilot bersangkutan terbang C-47 Dakota. Keadaannya semakin tak terkendali, ketika Soekarno mengobarkan kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat.

Dengan persiapan terbilang kilat untuk mengejar kebutuhan penerbang, Suwandi yang ber-callsign "Thunder Jet" dan Sumarno "Thunder Bird" berangkat ke Riazan, Uni Soviet. Kedua pemuda ini didampingi Mayor Saroso Hurip dan Mayor Sutopo. Mestinya, dituturkan Suwandi, Saroso Hurip yang akrab dipanggil Pak Cok tentu sangat mengerti tujuan yang hendak dicapai. Entah terlalu rahasianya, atau karena Saroso terlalu senior dibandingkan kedua anak muda ini, selama perjalanan tidak banyak pembicaraan yang bisa dilakukan Suwandi dengan Saroso. "Selama diperjalanan, Pak Cok tidak mengatakan apa-apa," kata Suwandi.

Setibanya di Moskow, mereka langsung menuju Riazan, selatan Moskow. Pengiriman Suwandi yang bisa disebut crash program, terlihat dari masalah bahasa. Keduanya tidak diberikan kursus Bahasa Rusia. Jalan keluarnya diambil dengan memanfaatkan jasa penterjemah. Pendidikan diberikan kepada Suwandi dan Sumarno sebagai ko-pilot secara cepat. Begitu buru-burunya, mereka hanya empat bulan di Riazan sebelum akhirnya pulang ke tanah air membawa Tu-16. Sementara Saroso dan Sutopo, sudah lama kembali ke Indonesia.

Hari kepulanganpun tiba. Sekali lagi, Suwandi tidak diberitahu. Terkesan dadakkan, dan dirahasiakan. Suwandi hanya ingat, ketika dua Polisi AU Rusia datang menjemputnya tengah malam di sebuah hotel tempat menginap di Kota Moskow. Petugas itu hanya berujar singkat sambil menyodorkan surat pengantar, bahwa Suwandi harus segera berkemas untuk bersiap membawa Tu-16 ke Indonesia.

Disini uniknya. Begitu dijemput, mereka dibawa naik mobil berputar-putar di Kota Moskow dengan arah yang sulit ditebak Suwandi maupun Sumarno. Tidak hanya dibawa berkelok-kelok, mobil dan petugas yang tidak mengucapkan sepatah katapun diganti, yang semakin mengaburkan bagi mereka dan memang itulah tujuannya. "Ini khasnya intelijen," jelas Suwandi.

Hingga sampailah mereka di sebuah pangkalan udara AU Uni Soviet. "Saya tidak tahu nama pangkalannya dan kemana arahnya. Membingungkan sekali." Suwandi hanya melihat jejeran dalam jumlah besar, pesawat tempur dan pembom Soviet. Tanpa membuang-buang waktu lagi, digelapnya malam, Suwandi dan Sumarno mempersiapkan diri. Briefing singkat diberikan. Semua peralatan, termasuk masker untuk menghindari kekurangan oksigen telah tersedia. Suwandi ditunjuk sebagai ko-pilot Tu-16 yang dinomori M-1601. Sementara Sumarno M-1602. Pilotnya orang Rusia.

Begitulah, dua pesawat Tu-16 pertama Indonesia berangkat dari sebuah pangkalan udara Rusia yang tidak jelas nama dan letaknya. Dari sini, mereka mengarah ke sebuah pangkalan di selatan Siberia, di wilayah Irkut. Dalam perjalanan panjang melelahkan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu, tidak banyak pula yang dibicarakan Suwandi dengan kapten pilotnya. Hanya hamparan salju putih sejauh mata memandang, selama perjalanan hingga mendarat di Irkut. Sekali lagi, di sini dia melihat deretan pesawat AU Rusia dalam jumlah besar. Setelah melakukan persiapan secukupnya, pesawat kembali mengudara.

Kali ini, mereka akan melintasi perbatasan menuju Cina. Demi keamanan dan menghemat bahan bakar, mereka terbang di ketinggian 12 kilometer. Pendaratan berikutnya ditentukan di Peking (sekarang Beijing-Red). Dari Peking, kedua pesawat direncanakan mendarat di Rangoon, Myanmar. Namun karena cuaca buruk (bad weather), pendaratan terpaksa dialihkan ke Kunming masih wilayah Cina, menjelang perbatasan Myanmar. Esoknya, baru mereka mendarat di Rangoon. Selama perjalanan, hampir tidak ditemui hambatan berarti, termasuk incaran dari pesawat-pesawat Barat.

Di Rangoon sudah menunggu Saroso dan Sutopo. Karena dalam perjalanan ke Indonesia, kedua penerbang ini akan on board sebagai kapten pilot. Lalu bagaimana dengan Suwandi dan Sumarno? "Kami disuruh ke Singapura untuk refreshing, sebelum kembali ke Jakarta dengan menumpang airline," jelas Suwandi senyum.

Baru beberapa hari di Indonesia, Suwandi sudah mendapat perintah operasi baru lagi. Dia ditugaskan ke Irian Barat menebarkan pamflet menggunakan B-25. Tapi lagi-lagi, belum lama bertugas, dia diperintahkan untuk kembali ke Rusia, persisnya ke Simferopol, untuk menjemput pesawat ketiga dan keempat versi KS. Dalam keberangkatan kedua ini, TNI AU mengirim empat kapten pilot : Kapten Udara Sardjono (pimpinan rombongan), Lettu Udara Jhony Herlaut, Lettu Udara Suwandi, dan Letda Udara Sumarno. Karena sebelumnya ke Simferopol sudah dikirim beberapa kadet penerbang, mereka langsung ditunjuk sebagai ko-pilot.

Rute yang diambil tidak berbeda dengan yang pertama. Waktu pendidikan juga masih sama, empat bulan. Hanya saja kali ini, mereka sempat menyaksikan penembakkan rudal KS, namun belum sempat terbang malam. Seperti yang pertama, setibanya di Rangoon pesawat kembali diambil alih oleh Pak Cok. Adapun set crew pengambilan kedua ini : Suwandi dengan (alm) Isnaen, Jhony Herlaut dengan Damanik, Sumarno dengan Rahmat, dan Sardjono dengan Masulili.

Sejak kedatangan kedua, berturut-turut setelah itu ke-24 pesawat Tu-16 datang silih berganti. Sementara menunggu rencana perebutan Irian Barat yang tidak jelas entah kapan, para penerbang berkebangsaan Rusia diinapkan di Sarangan, Madiun. Saat itu, hanya tiga lanud yang bisa menampung Tu-16, yaitu Lanud Halim Perdanakusuma, Iswahyudi Madiun, dan Polonia Medan. Menurut Suwandi, orang-orang Rusia ini disiapkan untuk menghantam target favorit kala itu, kapal induk Belanda Karel Doorman.

Sebagai mantan penerbang Tu-16 dengan rekor jam terbang terlama, tentu banyak kisah yang dilalui Suwandi selama hampir sepuluh tahun bersama pesawat karya sang maestro Andrei Tupolev. Suwandi sangat yakin, bahwa untuk jam terbang, dia paling banyak di Tu-16. Mengingat dialah orang pertama yang menerbangkan Tu-16, sekaligus mengakhiri penerbangan Tu-16 untuk selama-lamanya di Indonesia.


Last flight - Sebelum terbang terakhir semua crew menyempatkan foto bersama./Foto: Dok. Suwandi

Jatuh di ladang tebu

Begitu tiba di Indonesia, Tu-16 segera disiapkan menghadapi kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat, walau urung dilaksanakan. Lanud Morotai turut disiapkan jika perang memang pecah. Namun setidaknya, keberanian awak Tu-16 pantas diacungkan jempol. Pernah ketika Armada ke-7 AL AS yang berpangkalan di Hawaii melintas diperairan Indonesia, "Dengan beraninya kita fly over di atas mereka," aku Suwandi. Tindakan ini jelas sangat berisiko tinggi. Apa jadinya kalau Armada ke-7 menembak jatuh waktu itu?

Dengan hadirnya Tu-16 dan puluhan pesawat Rusia lainnya memperkuat AURI, benar-benar efektif dalam mendukung kedaulatan negara saat itu. Boleh dikatakan, tidak satupun negara di kawasan ini "berani" menggelitik Indonesia. Bagi Suwandi sendiri, selain bangga sebagai penerbang Tu-16 karena terlibat dalam berbagai misi penting masa itu, juga tidak bisa melupakan beberapa peristiwa selama aktif sebagai penerbang Tu-16.

Yang paling mencekam dan hampir merenggut nyawanya adalah peristiwa tahun 1962, ketika pesawat yang diterbangkannya mendarat darurat di kebun tebu rakyat di desa Geneng, Madiun, Jawa Timur. Penerbangan nahas malam itu hingga merenggut nyawa dua orang krew, merupakan bagian dari latihan terbang malam yang belum sempat diterima Suwandi di Rusia. "Karena selama di Simferopol kita tidak sempat terbang malam," jelas Suwandi.

Malam itu, Bali ditetapkan sebagai daerah latihan. Disimulasikan Bali disusupi musuh. Latihannya langsung di bawah pengawasan instruktur Rusia. Ketika mesin pesawat dihidupkan, tidak ada tanda-tanda kejanggalan. Panel-panel indikator di kokpit menunjukkan pesawat dalam kondisi siap diterbangkan.

Pesawat sudah mengambil posisi di ujung landasan pacu, tinggal menunggu tanda dari tower. Setelah tower memberi izin, Suwandi mendorong throttle untuk mendapatkan tenaga penuh agar bisa lepas landas. Perlahan, pesawat mulai melaju ke arah selatan dan sesaat kemudian kesepuluh rodanya mulai terangkat dari permukaan landasan. Melihat selintas ke indikator lalu ke instrukturnya, Suwandi mengacungkan ibu jari pertanda semua berjalan baik. Pada detik-detik menentukan itu, ketika pesawat menjelang ujung landasan, mendadak satu mesin di sebelah kanan mati. "Padahal kita mendekati ujung landasan dengan full speed," tutur Suwandi. Kalau dihentikan, jelas pesawat akan overshoot dan terjungkal ke dalam jurang kecil yang menganga di ujung landasan.

Apa boleh buat, Suwandi dan instrukturnya harus meneruskan sesuai prosedur. Dengan satu mesin pesawat terus naik, dan setelah diskusi singkat dengan instrukturnya, mereka memutuskan kembali ke base (RTB). Namun upaya menghidupkan kembali mesin yang mati, tetap dilakukan. Pesawat berbelok, siap mendarat kembali. Celakanya, ketika sampai di down wind pada ketinggian sekitar 800 meter, mesin kedua pesawat yang membawa bahan bakar 30 ton itu ikut-ikutan mati.

Menghadapi situasi genting seperti itu, Suwandi berusaha tetap tenang. Mereka mempertahankan agar ketinggian pesawat tidak turun secara drastis. "Mau loncat, pesawat terlalu rendah," kata Suwandi. Akhirnya instrukturnya memutuskan pesawat dipaksa masuk ke final (lintasan pada pola pendaratan pesawat yang lurus ke landasan, di mana pesawat siap mendarat) agar bisa mendarat secepat mungkin.

Tapi sudah tidak keburu. Pesawat stall dan jatuh menghujam kebun tebu menjelang landasan. "Saya tidak tahu apa yang terjadi, karena begitu menghujam, saya seperti sudah mati, tidak merasakan apa-apa lagi" akunya. Apakah pesawat meluncur, Suwandi tidak bisa memastikan. "Beberapa detik sebelum jatuh, roda saya turunkan, lalu dengan setengah berteriak saya perintahkan Lettu Geraldus Ramba (second navigator-Red), fasten seat belt, turn off electrical system, lalu saya rasakan benturan keras dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi," tutur Suwandi lagi.

Pesawat hancur berantakkan. Bagian depannya (nose) lepas dari ruang kabin tengah, sementara ruang kabin tengah terpotong dari ekor (tail) yang rupanya tertancap di tanah. Dengan kata lain, pesawat Tu-16 itu terbelah menjadi tiga bagian. Di gelapnya malam itu, sulit mengetahui secara pasti dimana hidung pesawat dan dimana bagian tengah pesawat. Untung kebakaran tidak terjadi, karena sistem listrik sudah dimatikan.

Kerasnya benturan, membuat semua crew seperti batu yang dilontarkan dari ketapel, terdorong ke depan. Kepala Geraldus sampai menyodok di antara pilot dan kopilot. Posisi kepala pesawat yang miring ke kiri, menyulitkan Suwandi untuk keluar. Dia terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu terdengar suara, "Ndi, kon isih urip." Suwandi tahu, yang bertanya Didi Pribadi, first navigator. "Aku isih urip, mbok coba nggoleki bantuan neng jobo," jawab Suwandi.

Sesaat kemudian, dia lihat kepala Geraldus di sebelahnya. "Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, karena gelap. Baru kemudian saya tahu kepalanya tertutup lumpur. Lalu saya bersihkan agar bisa bernapas," kata Suwandi. Karena melihat instrukturnya terkulai tak berdaya, Suwandi mencolek beberapa kali menggunakan kakinya. "Dia tidak beraksi, saya yakini dia tewas."

Ada peristiwa lucu di sini. Wahyudi, tail gunner, mengira Suwandi meninggal. Jadi setelah keluar dari bagian ekor pesawat, dia mencari-cari dan meraba-raba karena gelapnya malam. Yang bisa diketahuinya secara pasti hanyalah bagian ekor pesawat, dimana dia on board. Dia tidak melihat, bahwa bagian lain dari pesawat terpental jauh dari ekor. Yang ditemukannya ekor pesawat nungging ke atas. Wahyudi bergumam, "Berarti badan pesawat amblas ke dalam tanah." Langsung saja dia mengambil sikap sempurna, memberi hormat kepada pilotnya yang "gugur".


Pembom Tu-16 SELAMAT - Walau pesawatnya sampai terbelah tiga Suwandi (kedua dari kiri) masih selamat./Foto: Dok.Suwandi

Setelah memberi hormat secukupnya, dalam kepanikkan yang luar biasa, Wahyudi pergi melenggang untuk pulang ke rumahnya di Solo. "Kita ditinggal begitu saja," papar Suwandi. Dalam rentang waktu yang sulit diduga, first navigator Didi Pribadi berhasil pula keluar dari hidung pesawat lewat pecahan yang menganga.

Dalam kecelakaan malam itu, dua orang langsung meninggal. Kopilot (Rusia) dan special operator Letda Yoga. Tak lama berselang, penduduk setempat datang berbondong-bondong sambil membawa obor. Terangnya cahaya obor menyadarkan semua orang, bahwa pesawat telah terbelah menjadi tiga. Dengan sedikit susah payah karena terikat safety belt, mereka keluarkan jenazah kopilot. Saking tidak percayanya Suwandi akan keajaiban yang diberikan Tuhan kepadanya untuk masih bisa bernapas, dipegangnya (maaf) kemaluannya. "Oh... masih ada," tuturnya sambil tertawa.

Menurut penelitian yang dilakukan kala itu, jelas Suwandi, kecelakaan diduga karena terjadinya pengendapan ganggang mikro di dalam tanki bahan bakar. Ganggang ini, tambah Suwandi, berkembang biak di dalam molekul-molekul avtur. Jumlahnya terus bertambah, karena ternyata ketika masuk ke filter menjelang ke pembakaran (burner), ganggang justru membelah diri dan berkembang biak.

Sejak peristiwa itu, pemeriksaan selalu dilakukan sebelum Tu-16 terbang untuk mendeteksi kadar ganggang dalam tanki dengan mencelupkan alat pendeteksi. Kemungkinan lain munculnya ganggang menurut Suwandi, adalah cara penyulingan yang kurang sempurna. Beberapa hari kemudian, reruntuhan bangkai pesawat di bawa ke pangkalan dan ditempatkan di hanggar pemeliharaan. Didi Pribadi kaget alang kepalang begitu melihat pesawat. Ternyata, lubang tempat dia meloloskan diri teramat kecil untuk lelaki dewasa seperti dia bisa keluar. "Ajaib, sulit dipercaya," papar Suwandi.


Penerbang pertama DI RUSIA - Suwandi (pertama dari kiri) di Rusia bersama crew dan instrukturnya./Foto: Dok.Suwandi

20 mesin

Tu-16 terlibat penuh dalam kampanye Trikora dan Dwikora. Hanya saja, Dwikora lebih banyak memberikan kesan kepada Suwandi. Sebutlah suatu malam, Suwandi diperintahkan Komodor Leo Wattimena terbang di atas Kuala Lumpur. "Leo yang memerintahkan, dia juga ikut," aku Suwandi. Skenarionya lebih kurang begini: Tu-16 terbang dari Medan dan akan show of force di atas Kualalumpur. Untuk menipu radar lawan, pesawat Il-28 Beagle yang diterbangkan Oloan Silalahi disuruh berputar-putar di atas Belawan. Tapi apa yang terjadi. Baru saja pesawat memasuki wilayah udara Singapura, mendadak seluruh lampu padam. Inggris yang mengetahui kedatangan bomber menakutkan itu, langsung bertindak. Tu-16 di-jammed!

Kapten Suwandi yang sebenarnya belum diizinkan terbang malam oleh Dan Wing 003 Letkol Suyitno, sempat kehilangan akal. Avionik tidak berfungsi, sistem navigasi dibuat macet. Tapi tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Dia langsung memutar arah pesawat, dan segera mengontak lewat radio tower Medan. Begitulah, lewat tuntunan radio dan kompas magnetik, dia menyusuri "jalan" ke Medan hingga mendarat dengan selamat.

Sebagai pesawat pembom jarak jauh (strategic bomber), pergerakkan Tu-16 sangat ketat. Penggunaan bom dan roketnya, konon harus seizin presiden. Pola terbangnya tak pernah lepas dari intelligence, surveillance, dan reconnaissance (ISR). Semisal diperintahkan stand by di Medan. Dari Madiun, pesawat akan terbang 100 kilometer dari batas pantai selatan ke arah barat. Tak jarang pula, mereka "bermain" hingga mencapai Pulau Andaman sebuah pulau kecil di Teluk Bengal yang memisahkan India dan Myanmar.

Presiden Soekarno yang menyadari kebesaran AURI, tak jarang memanfaatkan AURI untuk mempertegas kedaulatan negara. Kalau bertepatan Hari Kemerdekaan, puluhan pesawat mulai dari pemburu, pembom, angkut, dan latih, melintas seperti menutupi langit Istana Merdeka. Juga bertepatan Hari ABRI (sekarang TNI-Red) di Kemayoran. Hal yang sama juga diminta Soekarno setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI.

Tapi dengan meletusnya gerakan militer yang berupaya menjatuhkan pemerintahan berkuasa pada tanggal 30 September 1965 yang akhirnya berhasil ditumpas TNI, membawa dampak sangat besar buat AURI. Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur menjadi putus. Bagi AURI berarti hilangnya sumber utama pemasok suku cadang. Alhasil, secara perlahan-lahan kesiapan pesawat-pesawat negara Timur ini mulai menurun. "Dalam setahun paling hanya 12 kali terbang," jelas Suwandi

Kanibalisasi tidak bisa dielakkan, untuk mempertahankan agar sejumlah pesawat tetap terbang. Sampai akhirnya pada suatu hari di bulan Oktober 1970, dilakukan test flight Tu-16 registrasi M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Itupun tidak segampang yang dibayangkan, karena suku cadang pesawat yang satu belum tentu cocok dipasangkan ke pesawat yang lain. Aneh, memang. Tapi menurut Marsda (Pur) Subagyo, Komandan Wing Logistik 040 saat itu, mesinnya masih banyak. "Saat itu ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, suku cadang yang lain tidak ada," jelas Subagyo.

Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Suwandi (pilot), Kapten Udara Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav. Beny Subyanto (first navigator), menerbangkan M-1625. Yang paling menyentuh pada hari itu, M-1625 merupakan satu-satunya dari sekian puluh pesawat Tu-16 yang tersisa dalam kondisi siap terbang.

M-1625 terbang dengan baik hingga ketinggian 4.000 kaki di atas landasan. Hari itu, selain mereka rayakan dengan kembali terbangnya Tu-16 setelah disiapkan sekian lama, juga hari pertama para penerbang menerima uang wing.

Untuk kedua kalinya, Suwandi kembali diuji. Di ketinggian 4.000 kaki di atas landasan, kedua mesin mati berbarengan. Sebagai penerbang senior, Suwandi bertindak tenang. Tanpa memperlihatkan kepanikkan, pesawat diarahkannya ke landasan sambil memanfaatkan daya luncur pesawat. Landing gear diturunkan, dan begitu roda-roda menjejak landasan Suwandi segera melepaskan brake chute. Pesawat terhenti di ujung landasan.

Lalu apa? "Sejak hari itu, semua Tu-16 saya grounded," kata Suwandi. Agar para penerbang tidak nganggur, mereka disalurkan ke Skadron Angkut, Merpati, dan Garuda. "Termasuk Lettu Surendro (suami Megawati Soekarno Putri, saat itu, yang kemudian gugur ketika menerbangkan Sky- van-Red)," tambah Suwandi. Sebelum keputusan politik men-scrapped Tu-16 keluar sebagai syarat memperoleh F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika, sekian lama pembom Tu-16 sempat dijejer di pinggir landasan Iswahjudi, Madiun, tanpa "penunggu".(ben)

Read More..